sejarah tanaman kopi ada kolonial belanda


Sejarah Tanaman Kopi




Apa itu tanaman kopi?

    Kopi adalah minuman hasil seduhan biji kopi yang telah disangrai dan dihaluskan menjadi bubuk.[2] Kopi merupakan salah satu komoditas di dunia yang dibudidayakan lebih dari 50 negara. Dua spesies pohon kopi yang dikenal secara umum yaitu Kopi Robusta (Coffea canephora) dan Kopi Arabika (Coffea arabica).

    Pemrosesan kopi sebelum dapat diminum melalui proses panjang, yaitu dari pemanenan biji kopi yang telah matang baik dengan cara mesin maupun dengan tangan kemudian dilakukan pemrosesan biji kopi dan pengeringan sebelum menjadi kopi gelondong. Proses selanjutnya, yaitu penyangraian dengan tingkat derajat yang bervariasi. Setelah penyangraian, biji kopi digiling atau dihaluskan menjadi bubuk kopi sebelum kopi dapat diminum.

Mengapa kopi bisa masuk di Nusantara?

    Kopi masuk ke Nusantara pada 1696 dibawa BelandaGubernur Jenderal Joan van Hoorn menerima biji kopi dari mertuanya yang bertugas di Malabar, India. Saat ditanam di kebun milik van Hoorn di sekitar Batavia dan Cirebon ternyata kopi yang dihasilkan sangat baik.

    Sebetulnya kopi telah di kenal oleh masyarakat muslim sebelum di bawa oleh belanda. masyarakat muslim yang menunaikan ibadah haji membawa kopi ke nusantara sebagai buah tangan, namun pada saat itu masyarakat belum terlalu tertarik dengan tanaman kopi, karena Belanda lah yang menjadikan kopi sebagai salah satu komoditas penting di Nusantara pada saat itu. 

    Karena kualitas kopi dari tanah jawa yang sangat baik, Belanda memutuskan untuk menanam kopi di daerah tatar sunda. Biji kopi yang berkualitas banyak di tanam di daerah Cirebon dan juga di dataran tinggi priangan yang terbentang dari sebelah barat Cianjur hingga sebelah timur Ciamis. Setelah menikmati bagusnya biji kopi di tanah Jawa, Belanda memaksa para petani untuk menanam tanaman kopi, para petani juga dipaksa agar menjual tanamannya kepada V.O.C. dengan harga yang sangat rendah yang membuat banyak rakyat menjadi sangat sengsara.

    Menurut Jan Breman dalam Mobilizing Labour for the Global Coffee Market , V.O.C. menangguk untung luar biasa dari produksi kopi di Jawa. Pada tahun 1730, Amsterdam memperdagangkan kopi dari tiga benua, Jawa, Reunion dan Yaman.


para petani sedang memanen kopi

    Para petani di Priangan begitu menderita. Mereka bukan saja dipaksa menanam kopi, tetapi juga mengantar hasil panennya ke gudang-gudang V.O.C. dan menerima berapa pun harga yang ditentukan oleh V.O.C. Seorang pemilk kebun kopi swasta mengatakan bahwa ketika panen, semua orang dikerahkan untuk memetik panen kopi. Perempuan, anak-anak bahkan orang lanjut usia dikerahkan untuk memetik hasil panen.

    VOC menganggap diri mereka bukan saja penguasa, tetapi juga pemilik dari lahan dan orang-orangnya. Hal ini membelenggu para petani. Mereka jadi terkurung di wilayah-wilayah lahan kopi tanpa bisa hidup berpindah-pindah. 

    Hal ini terus terjadi hingga awal abad ke 19. Pada 1808, Lawick melaporkan bahwa penduduk di Tjidamar, Sukapura, meninggalkan kampung mereka setelah mendengar rencana penanaman kopi secara paksa di kampung mereka. Tahun berikutnya, di Cirebon, beberapa petani pindah sementara ke wilayah lain untuk menghindari penanaman kopi secara paksa di kampung mereka.

Tanaman kopi pada masa kolonial Hindia-Belanda

    Bubarnya V.O.C. pada tahun 1799 tidak membuat nasib para petani menjadi semakin baik. setahun setelahnya pemerintah Hindia-Belanda memerintahkan setiap keluarga agar menanam kopi sebanyak 250 pohon dan menjadi 500 pohon pada tahun 1802.


Herman Willem Daendels

    Ketika menjadi Gubernur Hindia Belanda, Daendels memerintahkan agar setiap hasil panen langsung diserahkan kepada Bupati. Di Priangan, Daendels menghilangkan sistem bagi hasil pada para bupati. Ia menggantinya dengan sistem persentase pada bupati dan bawahannya. Berkat peran bupati hasil produksi kopi meningkat tajam. Pada 1810, panen kopi menghasilkan 120 ribu pikul. Jelas bahwa keringat para petani kini diperas habis oleh para bupati.

    Akibar buruknya jalan-jalan pada saat itu, Daendels memutuskan untuk memperbaiki jalan dan jembatan yang ada, ia menjanjikan bayaran bagi siapa yang bekerja memperbaiki jalan dan jembatan itu, namun ia janji. Hal ini membuat rakyat melakukan kerja paksa sehingga banyak rakyat yang meninggal dan melarikan diri akibat kelelahan.

    Pada seperempat pertama di abad 19, Jawa diguncang Perlawanan Pangeran Diponegoro. Perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro membuat kas pemerintah kolonial Belanda terkuras habis. Gubernur Jenderal Johannes van Den Bosch punya resep jitu mengisi kembali kas pemerintah kolonial. Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) diberlakukan pada tahun 1830.

    Jalan Raya Pos atas intruksi Herman Daendels membuat rakyat sengsara dan memicu Perang Jawa yang dikobarkan Pangeran Diponegoro. Rakyat Jawa kala itu juga dibebani kewajiban untuk menanam komoditi seperti gula, tembakau dan kopi. Van den Bosch sendiri menginstruksikan penanaman 40 juta pohon kopi per tahun. Penanamannya dibagi ke dalam daerah perbukitan di Jawa Barat, Tengah dan Timur.

    Pada akhir abad ke 19 mulai terdengar kritik terhadap sistem tanam paksa. Pada tahun 1880 produksi kopi mulai goyah. Hal ini disebabkan menyebarnya ‘wabah’ hemiliea vastatrix pada tanaman kopi. Bercak oranye pada daun tanaman kopi ini menandai memudarnya produksi kopi hindia belanda. Pada 1917 tanam paksa kopi ini dihapuskan.


Penulis : Muhammad Kasela Dwi P, XI IPA 3















Komentar